REI Minta Pemerintah Kaji Ulang Revisi Pajak Properti


Jakarta - Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) meminta Pemerintah melakukan kajian ulang terhadap rencana revisi peraturan pajak properti tentang penggolongan barang Sangat Mewah dan kebijakan yang mengatur mengenai PPnBM.


Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Dirjen Pajak Kemkeu) tengah menyiapkan revisi terkait obyek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong 'Sangat Mewah', sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.


Pemerintah dikabarkan juga tengah menggodok rencana perubahan PMK Nomor: 130/PMK.011/2013 tertanggal 26 Agustus 2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor: 121/PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


Ketua Umum DPP REI, Eddy Hussy, mengatakan, REI menyadari bahwa keinginan Pemerintah untuk menerapkan kebijakan baru tersebut adalah demi memenuhi target penerimaan Negara dari sektor perpajakan yang untuk tahun 2015 dipatok sebesar Rp 1.300 triliun.


"Namun, menyikapi wacana perubahan aturan perpajakan itu, REI berpendapat perlunya sejumlah pertimbangan agar revisi aturan perpajakan bagi subsektor properti yang berkategori mewah dan sangat mewah dapat diimplementasikan dengan baik, dan mampu menjaga agar sektor properti dapat bertumbuh dengan baik pula," kata Eddy Hussy dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (27/1).


Lebih lanjut dia mengatakan, terdapat wacana perubahan ketentuan terkait pungutan pajak atas transaksi rumah tapak beserta tanahnya yang dikelompokkan barang 'Sangat Mewah' dari semula Rp 10 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 500 m2 menjadi Rp 2 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 400 m2. Selanjutnya, untuk pungutan pajak atas hunian vertikal yang dikelompokkan barang ‘Sangat Mewah’ dari semula Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 400 m2, akan direvisi menjadi seharga Rp 2 miliar dan luas bangunan lebih dari 150 m2.


"Artinya, harga jual minimum unit rumah tapak sebesar Rp 5 juta per m2 (harga rumah plus tanah) dan Rp 13,3 juta per m2 untuk apartemen sudah dikategorikan barang 'Sangat Mewah'. Kami merasa patokan harga itu sangatlah tidak mungkin. Sebab, harga jual rusunami di wilayah Jabodetabek saja sudah di kisaran Rp 9 juta per m2, sesuai dengan Permenpera Nomor 3 Tahun 2014," kata Eddy.


Apabila revisi peraturan tersebut diberlakukan, lanjut dia, dimana harga properti Rp 2 miliar dianggap masuk dalam kategori rumah dan apartemen 'Sangat Mewah', maka tentunya juga akan terkena PPnBM. Sehingga, lanjut dia, sektor properti akan terbebani pajak penjualan sebesar 45 persen, dengan rincian, PPN 10 persen, PPh 5 persen, PPnBM 20 persen, Pajak Sangat Mewah 5 persen, dan BPHTB sebesar 5 persen.


"Hal itu, belum lagi pajak-pajak yang harus ditanggung oleh Pengembang sebelumnya, seperti pajak Kontraktor (PPN maupun PPh), akuisisi lahan, sertifikat induk, dan lain sebagainya," papar Eddy.


Mencermati kondisi ini, kata Eddy, pihaknya mengusulkan sejumlah langkah yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak bagi sektor industri properti. Pertama, pemerintah dapat mengakomodasi transaksi REIT (Real Estate Investment Trust). Kebijakan ini, kata dia, bertujuan mendatangkan investor dan dana segar yang cukup besar sehingga pada akhirnya mampu menambah penerimaan pajak dari sektor properti.


Kedua, lewat cara kepemilikan properti bagi WNA. Seperti diketahui, negara-negara lain bisa memanfaatkan properti sebagai sumber pendapatan negara yang cukup besar bagi negara. Properti di Indonesia cukup diminati oleh WNA dan juga kalangan ekspatriat yang bekerja di Indonesia.

"Pemerintah dapat membuat kebijakan guna mematok harga jual minimal unit properti yang boleh dibeli WNA dan besaran pajak yang lebih besar untuk dibebankan kepada konsumen properti dari kalangan WNA," jelas dia.


REI dan segenap pelaku industri properti, lanjut Eddy, menyadari pentingnya kebijakan Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Namun, kata dia, penerapan target penerimaan negara itu tentunya jangan sampai justru melemahkan sektor properti. Sebab, kalangan pengembang sudah merasakan adanya perlambatan pertumbuhan penjualan pada tahun 2014 dan kemungkinan akan terus berlanjut pada tahun 2015 ini.


"Kami khawatir apabila pelemahan ini terus berlanjut akan berdampak terhadap sektor industri lainnya, dimana kita ketahui terdapat 174 sektor industri ikutan, termasuk di dalamnya industri perbankan selaku sektor penunjang bagi pergerakan industri properti nasional, serta akan mengurangi penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya sangat besar," tambahnya.


Penulis: Feriawan Hidayat/FER





Halaman tips trick jumper phonsel ini akan selalu diperbaharui bila admin menemukan lagi pada persamaan yang mirip postingan : REI Minta Pemerintah Kaji Ulang Revisi Pajak Properti

Related Post

Random Post

Loading...

Tidak ada komentar