Anas Sebut Jaksa Paksakan Dakwaan dan Tuntutan
Jakarta - Terdakwa perkara dugaan penerimaan hadiah terkait pembangunan proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Anas Urbaningrum dalam pledoi (nota pembelaan) pribadinya, melalui keterangan beberapa saksi, membantah telah menerima hadiah berupa uang sebesar Rp 118.704.782.230 dan US$ 5.261.070.
Sebaliknya, Anas menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan memaksakan dakwaan atau tuntutan terkait penerimaan tersebut.
"Mengkaitkan terdakwa selaku anggota DPR dengan proyek-proyek mitra kerja dan tuduhan menerima hadiah berupa uang, barang dan fasilitas sebesar Rp 118,704 miliar dan US$ 5,261 juta adalah pemaksaan dakwaan dan tuntutan tidak berdasar, tidak berbasis logika dan bukti," tegas Anas saat membacakan pledoi pribadinya dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9).
Anas menyebut tudingan jaksa hanya didasarkan pada keterangan saksi Muhammad Nazaruddin yang merupakan terpidana kasus suap.
Padahal, lanjut Anas, keterangan Nazaruddin juga telah terbantahkan oleh keterangan beberapa saksi lainnya dalam persidangan. Sehingga, dipaksakan jika tetap mendasarkan tuntutan dari kesaksian mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut.
Dalam pemaparannya, Anas mengatakan dari keterangan saksi Indrajaya Manopol, Munadi Herlambang, Ketut Darmawan terbukti tidak ada penerimaan uang sebesar Rp 2.305.500.00 dari PT Adhi Karya untuk pemenangan terdakwa sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat.
Demikian juga, perihal penerimaan uang sebesar Rp 84.515.650.000 dari Nazaruddin, disebut Anas sebagai data fiksi yang tidak logis dan tidak dapat dibuktikan dalam persidangan.
Anas membantah semua pengeluaran yang disebutkan digunakan untuk biaya pemenangannya, hingga berjumlah puluhan miliar tersebut.
"Para saksi yang mengalami peristiwa langsung mempunyai keterangan yang berbeda dengan Nazaruddin. Maka adalah naif jika yang dipercaya oleh jaksa adalah keterangan Nazaruddin," ujar Anas.
Sementara itu, terkait tudingan menerima Rp 30 miliar dan US$ 5.225.000 dari Permai Group (milik Nazaruddin), juga dikatakan Anas tidak bisa dibuktikan oleh jaksa digunakan untuk kepentingan pemenangan dirinya. Sebaliknya, untuk keperluan Kongres Demokrat di Bandung, akhir bulan Mei 2010.
Atas dasar itu, Anas menuding bahwa Nazaruddin bermain di tiga kaki, yaitu mendukung tiga kandidat Ketum Demokrat dalam kongres. Hingga mendapatkan keuntungan dipilih menjadi Bendahara Umum partai.
Terkait, tudingan menerima mobil Toyota Harrier, Anas menyebut dari keterangan saksi Teuku Bagus Mokhamad Noor (mantan Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya), Yulianis (mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group), Oktarina Furi (mantan staf keuangan Permai Group), terbukti pembeliannya bukan berasal dari uang PT Adhi Karya sebagai tanda jadi pengerjaan jasa konstruksi proyek Hambalang.
Sedangkan, terkait tudingan penerimaan mobil Toyota Vellfire dan fasilitas survey dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menurut Anas tidak dapat dipidanakan. Sebab, bukan merupakan penerimaan selaku penyelenggara negara.
"Mobil Toyota Vellfire adalah pinjaman dari seorang sahabat yang merasa simpati dan hubungan batin. Mulai digunakan bulan September 2010, ketika sudah bukan anggota DPR RI," jelas Anas.
Demikian juga, bantuan survey oleh LSI untuk kepentingan reputasi lembaga survey tersebut dan bukan pemberian kepada anggota DPR.
Seperti diketahui, jaksa menuntut Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan. Sebab, terhadap Anas selaku anggota DPR RI dengan masa jabatan 2009-2014, dikatakan terbukti menerima hadiah atau janji berupa, 1 unit mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp 650 juta, 1 unit mobil Toyota vellfire Rp 750 juta dari PT Atrindo Internasional.
Kemudian, menerima fasilitas survei senilai Rp 487 juta dari Lingkaran Survei Indonesia terkait pemenangan sebagai Ketum Partai Demokrat. Serta, menerima uang sejumlah Rp 116 miliar dan US$ 5,2 juta.
Selain itu, terhadap Anas juga terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) antara 16 Nopember 2010 sampai 13 Maret 2013, yaitu membelanjakan uang sebesar Rp 20 miliar untuk pembelian sejumlah tanah dan bangunan.
Pembelian tanah tersebut diketahui atau patut diduga dari hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan asal usul harta kekayaan. Dengan melakukan pembayaran melalui orang lain atau diatasnamakan pihak lain.
Sebab, dikatakan sumber pembelian sejumlah tanah tersebut berasal dari dana sisa pemenangan kongres Partai Demokrat, sebesar US$ 1 juta dan Rp 700 juta yang disimpan di Permai Grup.
Selain itu, dikatakan pembelian tanah tersebut juga berasal dari fee-fee proyek dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dihimpun dari Permai Grup dan kantong-kantong dana lainnya.
Kemudian, Anas juga dikatakan membayarkan atau membelanjakan harta kekayaannya yang diduga dari hasil tipikor, sekitar bulan Januari 2010 sampai tanggal 26 Maret 2010, yaitu membayarkan uang sejumlah Rp 3 miliar untuk pengurusan IUP atas nama PT Arina Kota Jaya seluas 5.000 hektar sampai 10.000 hektar.
Padahal, pengasilan terdakwa sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, sejak 1 Oktober 2009 sampai 21 Agustus 2010 hanya sebesar Rp 194.680.800 dan tunjangan seluruhnya sebesar Rp 339.691.000.
Apalagi, terdakwa tidak memiliki penghasilan lain diluar gaji sebagai anggota dewan. Sehingga, patut diduga uang yang digunakan dari tindak pidana korupsi.
Tidak ada komentar