Menguat, Dugaan Keterlibatan Asing Saat Kebakaran Lahan Rawa Tripa


Jakarta – Pengacara PT Surya Panen Subur Tri Moelja D Soerjadi mencurigai adanya keterlibatan pihak asing dalam kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, Aceh.


“Patut diduga bahwa ada kepentingan asing di dalam perkara ini.” ujar Tri Moelja di Jakarta, Rabu (23/4) malam.


Menurut Tri, dugaan adanya intervensi asing itu sebelumnya juga sudah terungkap dari kesaksian Farwiza, anggota LSM Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, dalam sidang perdata kasus kebakaran Rawa tripa di PN Jakarta Selatan, Senin (21/4) lalu.


Dalam kesaksiannya, Farwiza mengaku sempat mendokumentasikan kebakaran tersebut, baik dari udara maupun saat melewati lokasi lokasi kebakaran. Dia menegaskan bahwa saat melakukan dokumentasi kebakaran, ia dibantu oleh Carlos Quilles, seorang warga negara asing. Sayangnya ia tidak menyebut warga negara mana orang asing tersebut.


Saat sidang, Farwiza sempat menunjukkan rekaman video kebakaran pada 27 Maret 2012. Dalam video itu tergambar bahwa titik api yang terlihat lebih dari tiga. Sementara di berkas gugatan disebutkan bahwa pada 27 Maret 2012 hanya terdapat satu titik api di lokasi kebakaran.


Keterlibatan pihak asing dalam kasus tersebut disorot pula oleh Suwardi dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


Menurutnya, Rawa Tripa telah ditetapkan statusnya melalui Peraturan Menteri Kehutanan sebagai area penggunaan lain (APL).


“Jika ada sekelompok orang yang ingin mengubah kawasan tersebut menjadi daerah konservasi, saya duga ada motif lain di balik rencana tersebut. Apalagi ingin mengembalikan perkebunan kelapa sawit menjadi hutan,” ungkapnya.


Aksi tersebut, menurut Suwardi, disponsori oleh pihak asing yang memiliki kepentingan ekonomi dengan membiayai lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar produksi sawit di Indonesia tidak terus meningkat. Maksudnya, supaya industri minyak goreng mereka tidak tersaingi oleh produk dari kelapa sawit Indonesia.


Industri minyak goreng di negara maju umumnya dikembangkan dari kedelai atau tanaman lain, sehingga tidak dapat bersaing dengan minyak goreng dari kelapa sawit yang sangat efisien. Satu hektare kebun sawit dapat menghasilkan 5 ton minyak per tahun, sementara kebun kedelai atau bunga matahari atau tanaman lain, hanya dapat menghasilkan maksimal 1 ton minyak goreng.


“Mereka sangat khawatir dengan perkembangan laju produksi minyak sawit Indonesia. Berbagai cara mereka lakukan, seperti dengan membiayai LSM di Rawa Tripa untuk mengubah kawasan APL menjadi kawasan konservasi,” ujar Doktor spesialis sumberdaya lahan itu.


Sebagai negara yang berdaulat, kata Suwardi, Indonesia harus menolak cara-cara asing untuk menghambat perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Sebaliknya, di saat Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan, pemerintah harus mendorong berbagai produk unggulan sebagai produk ekspor seperti minyak dari perkebunan kelapa sawit.


“Produk minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produk biodisel sehingga dapat mensubstitusi impor bahan bakar minyak,” ungkapnya.


Suwardi menjelaskan, untuk mengubah lahan gambut yang tidak produktif menjadi lahan perkebunan, diperlukan modal dan teknologi. Sebagian modal dipakai untuk menata kawasan, seperti saluran drainase dan irigasi, jaringan jalan dan modal operasional.


Teknologi yang diperlukan seperti teknologi pembibitan, teknologi pemupukan, teknologi pompa, teknologi pemanenan, teknologi pasca panen dan lain-lain, perlu terus-menerus dikembangkan.


“Untuk hal tersebut juga diperlukan modal besar. Oleh karena itu, pengelolaan lahan gambut yang tidak produktif sebaiknya diserahkan kepada perusahaan besar yang memiliki modal dan teknologi. Petani kecil sangat sulit jika diserahi tanggung jawab pengelolaan lahan gambut yang tidak produktif,” sebutnya.


Suwardi mengingatkan, dari seluruh luasan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Rawa Tripa berada di daerah hilir. Daerah hulunya berada di daerah lebih tinggi, yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, lahan yang sudah digunakan untuk perkebunan atau usaha pertanian lain tidak dapat dikembalikan ke lahan hutan untuk alasan konservasi.


“Di areal KEL, kawasan konservasi telah dialokasikan sangat luas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan. Oleh karena itu, kurang bijaksana jika kawasan yang telah dialokasikan untuk kawasan budidaya lalu dicaplok untuk kawasan konservasi. Jika kemudian kebun dipaksa untuk dijadikan hutan konservasi, maka pemerintah harus membayar kompensasi sesuai peraturan yang berlaku,” tegasnya.


Menurut UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Pasal 60 disebutkan setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.


“Kita memerlukan kawasan pengembangan ekonomi dengan membuka areal perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan perusahaan perkebunan secara nyata telah meningkatkan perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun melalui multiplyer effect-nya,” tegas Suwardi.





Halaman tips trick jumper phonsel ini akan selalu diperbaharui bila admin menemukan lagi pada persamaan yang mirip postingan : Menguat, Dugaan Keterlibatan Asing Saat Kebakaran Lahan Rawa Tripa

Related Post

Random Post

Loading...

Tidak ada komentar